Menelusuri Jejak Resep Asli Nasi Glewo, Kuliner Kuno Khas Semarang yang Sempat Punah

Sementara Fatimah (71) warga Kampung Batik yang juga merupakan kampung kuno di Semarang membenarkan dan sependapat dengan Qomariah. “Dulu orang masak Glewo Daging itu pasti orang terpandang. Saya sendiri tahu dari mertua perempuan yang dulunya tinggal dan kelahiran di Kampung Ngabangan dekat dengan Pasar Johar,” ungkap Fatimah.
Ceritanya, lanjut dia, Glewo dulu menggunakan daging sapi, tentunya daging sapi dulu yang mengonsumsi pasti orang-orang yang secara ekonomi kelas menengah ke atas.
“Mertua saya cerita untuk kelas menengah ke bawah biasa menggunakan daging tetelan atau sesetan. Malah menggunakan koyor atau otot yang umumnya tidak laku dijual atau harganya murah. Tapi justru yang umum dimasak warga kelas menengah ke bawah ini lah yang menjadi terkenal. Sedang mereka yang tak mampu membeli daging maupun koyor maka cukup menggunakan potongan tempe dan tahu,” ujarnya di rumahnya Kampung Batik Gayam dan hingga kini masih menerima pesanan kuliner khas Semarang seperti Glewo, Petis Bumbon, Blohar Kaki Kambing dan lainnya.
Fatimah yang menerima resep warisan dari mertuanya, Almh Fatonah membenarkan bahwa citarasa Glewo ada rasa pedas, gurih dan kecut atau masam karena asem. Sependapat dengan Qomariah, penggunaan asem menjadi salah satu bumbu atau bahan yang menjadi identitas bahwa kuliner ini khas dengan karakter atau ciri Semarang.
Diakuinya, sejak kecil dan sekolah di SD Mahad Islam Kawasan Petolongan di tahun 1960-an dirinya dan anak-anak waktu itu sering mencari buah asem kranji yang banyak tumbuh di jalan-jalan. Asem ini dikumpulkan dan dibawa pulang.
“Anak-anak kala itu banyak yang memakannya seperti permen dengan dilumuri gula pasir. Sisanya dibawa pulang dan disimpan di dapur untuk memasak,” paparnya.
Selain penelusuran resep Glewo dari warga, Chandra AN juga berhasil menemukan keluarga keturunan dari 'Pak Baru' yang di Era 1970-an terkenal sebagai penjual Nasi Goreng dan Glewo Koyor di Jalan Sriwijaya Semarang.
Dwi Astuti (51) merupakan cucu buyut Pak Baru yang tinggal di Jalan Tegalsari, tak jauh dari tempat berjualan buyutnya dulu. Dwi mengaku sejak kecil hingga tahun 1980an masih sering makan Glewo dibawain mBah Baru dari warungnya. Citarasnya pedes dan kecut atau masam.
“Namun sejak SMP warung mbah Buyut saya di Jalan Sriwijaya itu sudah tutup, dilanjutkan oleh para anak keturunan antara lain buka di Pecinan, Gombel, kawasan Gajahmungkur dan Jalan Erlangga. Kayaknya yang sekarang masih buka di Gombel. Tapi semuanya sudah tidak menjual Glewo, hanya nasii goreng,” katanya.
Dengan penelusuran ini maka didapat otentiknya resep Glewo yang antar lain bumbu dan bahannya terdiri dari daging sapi, cabai merah, tahu, tempe, santan kelapa, bawang merah, bawang putih, daun salam, potongan laos, asem Jawa/kawak, garam dan gula pasir.
Editor: Ahmad Antoni